Jiwaku berkata dan menasihatiku agar memuaskan kehausanku dengan minum anggur yang tidak dituangkan ke dalam cangkir, yang belum terangkat oleh tangan, dan belum tersentuh oleh bibir, hingga hari itu kehausan seperti nyala redup yang terkubur dalam abu, dan tertiup angin dingin dari musim-musim semi, tetapi sekarang kerinduan menjadi cangkirku.

Cinta menjadi anggurku, dan kesendirian adalah kebahagiaanku. Jiwaku menasihatiku dan memintaku mencari yang tidak dapat dilihat. Jiwaku menyingkapkan sesuatu padaku bahwa apa yang kita sentuh adalah apa yang kita hasratkan. Sebelumnya aku sudah puas dengan kehangatan musim dingin, dan dengan angin sepoi-sepoi musim panas. Tapi sekarang jari-jariku menjadi kabut sehingga membiarkan apa yang telah dipegangnya jatuh, bertaburan, berbaur dengan yang tidak terlihat yang sekarang begitu aku hasratkan.

(Kahlil Gibran)