Dari lubuk hatiku burung terbang dan membubung ke angkasa. Meski makin tinggi membubung, ia tampak makin membesar. Mula-mula seperti burung layang-layang, kemudian seperti camar, lalu seperti elang, lantas sebesar awan musim semi, selanjutnya melayang di langit yang penuh bintang.
Dari lubuk hatiku seekor burung terbang membubung ke angkasa. Ia semakin besar selagi terbang. Namun ia tidak berpaling dari hatiku. Wahai imanku, pedoman yang belum teguh, bagaimana aku mungkin terbang menuju puncakmu, dan melihat bersama sosok insan yang lebih besar dan terlukis di langit? Bagaimana aku dapat menciptakan lautan ini bersamaku menjadi kabut, lalu melayang bersama dalam ruang semesta tanpa batas? Bagaimana seorang narapidana dalam kuil dapat melihat kubah emas kuil itu? Dapatkah biji buah digelembungkan sehingga dapat merangkum buahnya? Wahai imanku, aku terbelenggu di balik palang-palang perak dan kayu hitam, sehingga aku tidak dapat terbang bersamamu. Namun dari lubuk hatiku engkau membubung ke angkasa. Hatikulah yang ingin menggapaimu, sehingga terasa lega di dada.
(Kahlil Gibran)