Kasih,
Apakah semak terasa sesak untuk disibak dan onak makin membercak bila terinjak?
Pun duri akan meradang nyeri bila menyentuh pori-pori?
Bila begitu,
Jalan pulang masih dekat terlihat
Kasih,
Telahkah gelombang membuat pasakmu gamang,
hingga bahumu urung terkayuh?
Mungkinkah badai sudah menyurutkan nyali para tali,
Hingga layarmu sukar terkibar?
Bila begitu,
Pantai masih dekat untuk ditambat.
Kasih,
Apakah lembah terlalu gundah bila dijamah dan pucuk terlalu angkuh bila ditekuk?
Pun bukit semakin sulit dipeluk,
Dan gunung masih terlalu agung untuk ditakluk?
Kasih,
Apakah angin telah menerbangkan angan,
Hingga derap sayapmu tiada pernah terucap?
Pun awan telah menebar ancaman akan datangnya hujan,
Dan haluanmu telah berubah menjadi buritan?
Kasih,
Tetap ku tegak menyimak setiap detak,
Menatap harap derapmu kembali,
Walau daunku makin layu tertiup waktu
sugadiawara
11 July 2004 at 17:14
Ada ujar-ujar bijak bahwa batu yang sekeras apa pun kalau setiap hari ditetesi air –cukup setetes air– lama-kelamaan dia akan berlubang juga.
Terkadang kita suka lupa bahwa waktu yang berputar seperti roda itu sudah ada yang mengatur. kita sering berpikir untuk mengubah arah perputaran bahkan menghentikannya. Naif gak sih?
Btw, sayakagum sama puisi ini… semua aspek keindahan bisa saya temukan. Sangat mengaduk rasa. Good luck, bro!
——-
“Bahkan kematian pun bukanlah sebuah akhir yang abadi”