Stadio Giuseppe Meazza, San Siro, Milano, 23 April 2011. Menjelang laga Inter vs Lazio di pekan-pekan terakhir yang krusial di Serie A musim 2011/2012. Lazio sedang bersaing keras dengan Udinese untuk mengamankan tempat di UCL dan Inter sedang berjuang keras menghidupkan asa scudetto yang hampir pasti diraih AC Milan. Ketika kedua tim memasuki lapangan, dari salah satu bagian stadion puluhan flare warna biru langit dinyalakan, disusul pekikan ribuan orang: “A Roma Ce Solo Lazio” atau “Di Kota Roma Hanya Ada Lazio”.
Kita yang hanya menyaksikan lewat televisi tentu mengira itu adalah ulah suporter Lazio. Sebenarnya bukan, flare dan teriakan itu justru dilakukan dari Curva Nord Stadio GM oleh puluhan ribu Interisti yang tergabung dalam Boys SAN dan beberapa kelompok ultras Inter lainnya. Baru setelah itu dari sisi Irriducibili Lazio dinyalakan flare warna biru gelap (warna Inter) dan para Laziali meneriakkan “Forza Inter Ale”.
Itu adalah ritual selamat datang dari Interisti untuk Laziali dan tanda persahabatan Laziali bagi Interisti. Ritual itu sudah berusia lebih dari satu dekade sejak kedua kelompok suporter ultras menjalin gemellaggio (twinning, persaudaraan). Di Stadio Olimpico, ritual dilakukan sebaliknya. Irriducibili Lazio menyalakan flare biru gelap disertai teriakan “Forza Inter Ale” dan dibalas oleh Interisti dengan flare biru langit dan teriakan “A Roma Ce Solo Lazio.”
Mengapa kita bersahabat dengan Inter? Karena sama-sama menempati Curva Nord? Dan mengapa kita berseteru dengan AS Roma? Karena menghuni kota yang sama? Itu memang salah satu alasan tetapi latar belakang sesungguhnya adalah sebuah sejarah panjang dan kompleks, dimulai bahkan dari saat awal eksistensi kedua klub itu.
Takdir Mulai Saat Kelahiran
SS Lazio dibentuk tahun 1900 oleh para politisi dan usahawan berhaluan politik kanan dan anti-Yahudi serta berbasis pendukung kaum terpelajar dan kalangan menengah-atas Roma. Kelompok berhaluan serupa juga lah yang mendirikan Inter saat melepaskan diri dari AC Milan tahun 1908.
Saat diktator fasis Benito Mussolini berkuasa di Italia, dia memerintahkan semua klub di kota Roma di-merger menjadi AS Roma tahun 1927. Semua mematuhi, kecuali SS Lazio yang menentang dan tetap berdiri sendiri. AS Roma dikuasai oleh golongan kiri dan didukung oleh kelas buruh dan masyarakat Yahudi (kelompok serupa yang mendukung AC Milan). Di kota Milan, Mussolini melakukan hal yang sama, dan Inter melakukan penentangan yang sama sehingga sementara harus berganti nama menjadi Ambrosiana Milano.
Sejarah awal ini telah menyemai ikatan antara SS Lazio dan Inter serta menempatkan AS Roma dan AC Milan pada pihak yang berseberangan. Lokasi yang sama di Curva Nord (Lazio dan Inter) dan di Curva Sud (AS Roma dan AC Milan) makin mempertajam perbedaan ini. Dan, tentu saja, faktor lokasi di kota yang sama menjadikan persaingan Lazio-Roma menjadi semakin memanas. Lazio dan pendukungnya merasa sebagai yang pertama di Roma, sedangkan AS Roma menganggap dirinya satu-satunya klub yang menyandang nama kota.
Persaingan ini sedemikian panasnya, sehingga Derby della Capitale (SS Lazio vs AS Roma) dinobatkan sebagai derby paling panas di Italia bahkan di Eropa, melebihi Derby della Madoninna (Inter vs Milan), Derby Manchester (MU vs Manchester City) bahkan mengungguli El Classico (Barcelona vs Madrid). Kalau Interisti dan Milanisti hanya panas di dunia maya tetapi bersahabat di dunia nyata, Laziali dan Romanisti berseteru dalam arti sebenarnya, di dunia maya maupun di dunia nyata. Hampir tak pernah terjadi Derby della Capitale tanpa kerusuhan. Tercatat beberapa nyawa melayang dan ratusan orang telah terluka karena derbi ini. Derby della Capitale adalah “neraka” sepakbola Italia.
Gemellaggio Lazio-Inter
Persaudaraan ini terjadi sepanjang sejarah. Tak pernah ada catatan insiden antara Laziali dan Interisti. Kesamaan aliran politik dan basis pendukung membuat kedua kelompok suporter ini selalu rukun. Gemellaggio secara formal terjadi saat kedua suporter bertemu dalam final UEFA Cup tahun 1998 di Paris yang dimenangkan Inter dengan 3-0. Sikap ksatria Irriducibili Lazio dan sikap simpatik Boys SAN Inter membuat kedua suporter mendapatkan penghargaan fair play dari UEFA. Dan saat itu tercapailah kesepakatan persaudaraan antara Laziali dan Interisti yang makin menguat hingga hari ini.
Inilah beberapa kejadian unik yang menunjukkan eratnya gamellagio Lazio-Inter:
Nasib Tragis Zaccheroni, 5 Mei 2002
Pada pertandingan giornata 34 musim 2001/2002 tanggal (match terakhir, karena saat itu Serie A hanya berisi 18 tim), terjadi peristiwa yang unik di Stadio Olimpico pada laga Lazio vs Inter. Saat itu Inter di ambang juara karena cukup dengan mengalahkan Lazio maka mereka akan meraih scudetto mengungguli Juventus. Maka Laziali di Stadio Olimpico, dimotori Irriducubili Lazio mendukung Inter habis-habisan dan meminta Lazio kalah, agar yang mendapatkan scudetto Inter, bukan rival Lazio, Juventus. Sayangnya malam itu para punggawa Nerazzurri gagal meraih scudetto yang sudah di depan mata, kalah 2-4 dari Biancoceleste. Dan Juventus merebut scudetto dengan 71 poin, diikuti Roma dengan 70 poin. Inter sendiri di posisi ketiga dengan 69 poin. Akibat kejadian ini, Irriducibili Lazio mendemo manajemen Lazio dan meminta allenatore Lazio, Alberto Zaccheroni dipecat. Zaccheroni pun akhirnya mengundurkan diri. Dia dimusuhi Laziali justru karena timnya memenangkan laga. Ironis, tapi itulah jiwa Irriducibili Lazio: persahabatan dan solidaritas ditempatkan di atas sepak bola itu sendiri.
Stadio Giuseppe Meazza Tanpa Banner dan Flare, 15 November 2007
Empat hari sebelumnya, seorang DJ terkenal di kota Roma, Gabriele Sandri, seorang pendukung ultras Lazio, menjadi korban tak berdosa dalam kerusuhan antara sekelompok suporter anarkis Juventus dan kepolisian kota Roma. Sandri tertembak di bagian belakang kepalanya oleh polisi. Kerusuhan pun meledak, menuntut keadilan. Tidak hanya karena para Laziali menyerang kantor polisi Roma, tapi juga di Milano, oleh Interisti menyerang kantor polisi Milano, menunjukkan solidaritasnya. Untuk menghormati Sandri, Inter menunda sehari pertandingan Inter vs Lazio di Stadio Giuseppe Meazza yang seharusnya digelar 14 November. Saat pertandingan berlangsung, Boys SAN Inter memprakarsai mengheningkan cipta selama 5 menit di stadion untuk menghormati Sandri. Dan malam itu, di Curva Nord Giuseppe Meazza, tempat para Interisti, sama sekali tidak terlihat sepotong pun spanduk, banner ataupun sebuah flare pun yang mereka nyalakan. Kelompok-kelompok ultras Inter hanya membentangkan sebuah spanduk besar dengan tulisan warna biru langit berlatar belakang biru gelap bertuliskan: “Gabriele Sandri, Kau Akan Selalu Berada di Hati Kami”.
Korban Berikutnya, Jersey No 12 SS Lazio, Minggu, 2 Mei 2010
Stadio Olimpico Roma dipenuhi pendukung Lazio dan Inter yang menantikan pertandingan Serie A giornata 36 musim 2009/2010. Pertandingan ini sangat menentukan bagi kedua tim. Bagi inter, memenangi pertandingan ini akan mempermudah meraih Scudetto, dan akan mengambil alih poisisi cappolista dari AS Roma yang sementara unggul 1 poin. Bagi Lazio memenangi pertandingan ini akan lebih mengamankan diri dari kemungkinan degradasi ke Serie B, karena saat itu Lazio berada di posisi 17 dan hanya terpaut 4 poin dari zona merah.
Ritual gemellaggio seperti pada pembuka tulisan ini pun dilakukan. Itu hal biasa. Yang luar biasa adalah banyak bendera Inter dan spanduk-spanduk pemberi semangat bagi Inter dikibarkan oleh Irriducibili Lazio. Yang paling mencengangkan tentu saja sebuah spanduk para Laziali yang ditujukkan kepada para pemain Lazio sendiri: “Kalau sampai menit ke 80 Lazio unggul, kami akan masuk ke lapangan!”
Spanduk ini disita polisi tak lama kemudian tetapi muncul spanduk-spanduk lain yang tak kalah mengerikan: “Nando (maksudnya Fernando Muslera), biarkan bola melewatimu, dan kami akan tetap menyayangimu.” “Zarate, satu gol saja kau cetak, kami paketkan kau ke Buenos Aires.” Rupa-rupanya para pendukung Lazio ingin agar Inter mengalahkan timnya malam itu, untuk melicinkan jalan Inter menuju scudetto. Mereka lebih memilih risiko Lazio turun ke Serie B daripada Roma yang memperoleh scudetto.
Suasana pertandingan pun menjadi sangat aneh. Lazio sama sekali tidak memperoleh dukungan fans-nya sendiri walaupun bermain di Olimpico. Sebaliknya Inter sebagai tamu justru memperoleh dukungan luar biasa. Setiap kali pemain Inter menguasai bola, para Laziali berteriak, “Biarkan mereka lewat!” Malam itu portiere Lazio, Fernando Muslera, bermain sangat gemilang. Tak kurang dari 10 penyelamatan luar biasa dilakukannya. Tiap kali Muslera menggagalkan gol Inter, teriakan cemoohan pun berkumandang ke arahnya. Akhirnya pada injury time babak pertama, tandukan Walter Samuel mengubah skor menjadi 0-1. Stadion bergelegar dan muncul spanduk ejekan dari Laziali bertuliskan, “Oh, Noooo Roma!” dan, “Scudetto Game Over, Roma!”
Di babak kedua mental pemain Lazio (kecuali Muslera yang tetap bermain gemilang) pun runtuh. Kesalahan demi kesalahan dilakukan dan membuat Thiago Motta menggenapkan kemenangan Inter menjadi 0-2 di menit ke 70. Di akhir pertandingan, para pemain Lazio meninggalkan pertandingan dengan sedih dan marah karena merasa “dihianati” Laziali. Presiden Roma, Rosella Sensi mengecam habis-habisan ulah Laziali tersebut. Jose Mourinho hanya berkomentar pendek, “Saya belum pernah menyaksikan yang seperti ini.” Asisten pelatih Lazio mengakui bahwa anak asuhnya sangat terpengaruh oleh suasana stadion dan tidak bisa menampilkan performa terbaiknya.
Inter akhirnya merebut scudetto 2009/2010 dengan keunggulan 2 poin atas AS Roma. Syukurlah, Lazio mampu memenangi 2 laga sisa, terhindar degradasi dan menempati posisi akhir klasemen di urutan ke 12. Insiden ini membuat presiden Lazio, Claudio Lotito marah besar. Tahun 2003 Lazio memutuskan untuk mengistirahatkan jersey no. 12 sebagai penghormatan pada Irriducibili Lazio sebagai “pemain ke 12”. Tetapi karena kejadian ini (ditambah lagi dengan kehadiran politisi lawan Lotito di tribun Irriducibili Lazio beberapa pertandingan sebelumnya) maka jersey no. 12 ditarik kembali dari peristirahatannya dan pada musim 2010/2011 dipakai oleh portiere kedua Lazio, Tomasso Berni. Musim 2011/2012 jersey no 12 dipakai oleh difensore Marius Stankevicius. Satu bukti lagi, bahwa bagi Irriducibili Lazio, persahabatan dan solidaritas adalah yang terpenting.
Kawan dan Rival Bersama, Bagaimana di Indonesia?
Sejarah telah berbicara, dan akhirnya menempatkan AS Roma, AC Milan dan Juventus sebagai rival bersama Lazio dan Inter. Di Indonesia, gemellaggio Lazio-Inter ini masih sangat kurang terasa. Tak jarang Laziali dan Interisti justru terlibat perdebatan panas di berbagai grup dan fanpage. Padahal di Italia, persaudaraan ini demikian erat di dunia maya dan di dunia nyata. Yang telah ada adalah menempatkan AS Roma, AC Milan dan Juventus sebagai rival bersama. Satu keanehan lagi di Indonesia, Milanisti dan Juventini cenderung bersahabat, sementara di Italia, mereka berdua adalah rival.
(Dari berbagai sumber: forum LaCurvaNord, LazioForever, ForzaInterForums, UltrasLazio dan IrriducibiliLazio).