Aku pernah menulis sajak pada kertas harum bergambar Hello Kitty yang kusobek dari tengah-tengah sebuah buku tulis.
Aku menulis beberapa bait; kukatakan “beberapa”, sebab sejatinya sajak bukanlah ilmu pasti.

Aku menulis dengan perlahan, tertatih selayaknya kekanak mengeja Pelajaran Membaca Jilid I-A dengan lidahnya yang cadel.

Aku menulis dengan perlahan; perlahan dan tak pasti.

Sampai suatu ketika aku harus berhenti menulis, pada bait yang entah ke berapa.
Serabut-serabut syarafku menegang menghantarkan nyeri di hemisfer kiri otakku.
Jemariku tak lagi kuat menggenggam kalam, tak lagi mampu kugerakkan.

Aku berhenti tapi tak berarti (dia) mati.
Sebab napasku masih bertiup memberi kehidupan kepadanya.

Aku pernah menulis sajak tak selesai.
Kusemayamkan di sebuah laci yang paling tengah di hatiku.
(Kuncinya masih ada padamu, bukan?)

Semoga kau tak lupa bahwa kita pernah berjanji untuk bertemu lagi.
Sebab aku ingin kau menuntaskan baitnya yang terakhir.