Sehari setelah naik takhta sang raja berkata, “Dunia ini milikku!” dan rakyatnya bersorak gembira. Mereka bangga bertuankan seorang ambisius. Mereka menyambut titah sang raja dengan gempita.

Tujuh hari tujuh malam mereka berpesta pora dengan makanan, minuman, tari-tarian dan nyanyian wanita cantik. Sang raja tersenyum, “Betapa mudahnya mempersembahkan kebahagiaan pada orang lain.”

Beberapa minggu setelah ‘membahagiakan’ rakyatnya, sang raja meminang puteri bungsu kerajaan seberang. Mereka menikah tepat di awal purnama ke tiga.

Kata mahapatih, “Ini bukanlah saat yang pantas, Baginda. Tak ada baiknya mengadakan pesta pernikahan di hari begini.”

Maka sang raja pun menikahi puteri tanpa pesta sehingga rakyat bertanya kalau-kalau keuangan kerajaan tengah krisis? Sang raja hanya tertawa masam.

Separuh windu kemudian sang raja jatuh sakit. Sakit parah yang tiada kunjung membaik.

“Wahai, apakah penyebabnya?” bertanya para rakyat.

Ah, tiada seorang pun mengetahui. Tidak mahapatih, tidak tabib istana, bahkan ibu suri pun tiada mengerti.

Lima tahun sudah berlalu dan kini genap tahun ke sembilan dalam pemerintahannya. Namun sang raja tiada sembuh-sembuh jua dari sakitnya. Rakyat sedih. Rakyat gelisah. Sang raja hanya tertawa masam. Bagaimana pun, dia tidak akan menceritakannya kepada orang lain. Tidak pada mahapatih, tidak kepada ibu suri, pun tidak kepada rakyatnya yang tercinta.

Kini si raja memasuki ruang pribadinya, mengambil sehelai kertas dan sebatang pena, lalu menulislah dia dengan perlahan.

Adinda, tiada ibakah engkau kepadaku? Jasadmu di sini, namun tidak jiwamu. Mereka melihatmu di sisiku, namun tiada demikian benarnya. Bagaimana aku dapat memimpin rakyatku seperti ini? Ah, tidakkah sebaiknya aku mangkat sahaja?

(Makassar, 1 Maret 2003)