Di sini angkasa raya begitu kelam
Matahari terbit dan terbenam pada satu koordinat
Tanpa semburat jingga di cakrawala
Hanya pada satu titik !

Pantainya tak lagi berpasir putih
Mungkin karena tak pernah dibelai ombak
Atau karena sang ombak yang memang tak biru pula

Terkadang saat malam menjemput
Aku mencoba memandang ke atas
Mencoba mencari silhuette seekor kelinci pada lingkaran purnama
Atau setidaknya kedipan manja bintang-gemintang

Tapi percuma saja !
Karena di sini angkasa raya begitu kelam
Matahari, jinggga dan cakrawala,
Pantai, pasir dan ombak,
Malam, bulan dan gemintang

O, inilah sebuah kota mati !
Tak ada seorang pun di sini
Kecuali aku dan bayanganku yang (juga) kelam
Dan sepotong hati yang menjadi saksi diriku

O, inilah sebuah kota mati !
Mayat-mayat hidup yang berlalu-lalang di hadapanku
Tatapan kosong tanpa jiwa
Seringai beku di atas bibir yang membiru

O, inilah sebuah kota mati ! (Dan aku terperangkap di dalamnya)
Tak ada seorang pun di sini
Kecuali aku dan bayanganku yang (masih juga) kelam
Dan sepotong hati yang kini menggelepar sekarat
Berjalan menuju kematian !

Dari angkasa raya yang kelam mereka tampak bergerombol
Sekawanan burung pemakan bangkai memandang rakus
Pada sepotong hati yang menggelepar sekarat
Dan akhirnya mati !
Dan mereka pun berpesta-pora menyantapnya
Sementara mayat-mayat hidup masih saja berlalu-lalang
Tatapan kosong,
Seringai beku

O, inilah sebuah kota mati !
Tak ada seorang pun di sini
Kecuali aku dan bayanganku yang (?) kelam
Dan aku terperangkap di dalamnya
Dan aku terperangkap di dalam sebuah kota mati !

(BigStone, 12 Maret 2002)