Suatu ketika Andi Lakanude’ Petta Bere’, seorang lelaki Bugis hendak menikah dengan Sitti Marayang Daeng Sibollo, seorang wanita Makassar. Lakanude’ ini hanya ngerti bahasa Bugis dan tidak paham bahasa Makassar, sedangkan calon istrinya Daeng Bollo hanya bisa berbahasa Makassar dan tidak paham bahasa Bugis.
Sebagaimana kebiasaan perjodohan Bugis dan Makassar, sebelum menikah mesti ada banyak tetek bengek syarat pernikahan yang umumnya dibebankan kepada pihak lelaki.
Jadi selain beban yang berupa mahar yang memang wajib, ada lagi yang diistilahkan doi’ panai’ (Makassar) atau doi’ ripaenre’ (Bugis) yang biasanya terdiri dari biaya pesta, biaya administrasi pernikahan, erang-erang, biaya sewa pakaian dan juru rias (indo’ botting atau anrong bunting), dan lain-lain, dan sebagainya. Jumlah ini biasanya mencapai belasan hingga puluhan juta. Dan dapat menjadi penyebab batalnya suatu pernikahan jika tidak dipenuhi.
Hal ini membuat pihak lelaki yang akan menikah cenderung pusing dengan doi’ panai’ ini. Demikian juga yang dirasakan oleh lelaki Bugis ini, karena permintaan pihak wanita yang begitu tinggi, dia moro-moro, merasa melamar itu ibarat membeli wanita.
Setelah kasak-kusuk kesana kemari mendatangi sajing utk dimintai bantuan akhirnya dia berhasil memenuhi permintaan pihak keluarga wanita. Dengan perasaan lega diapun menanti malam pertama yang mendebarkan.
Pesta berlangsung hingga tengah malam, tudang botting yang melelahkan dengan dihibur musik elekton dengan lagu-lagu dangdut terbaru dan gaya biduan ca’doleng-doleng yang menghebohkan. Hingga akhirnya tibalah waktu istirahat.
Pengantin baru kemudian memasuki kamar, Andi Lakanude’ berusaha tenang menyapa istrinya dengan tersenyum, istrinya pun membalas senyum:
Dg Bollo : “tojeng-tojeng jaki ningaika’ Daeng?” (apakah kamu sungguh mencintaiku Daeng?)
Andi Lakanude’ : “To Ugi’ka Bollo” Andi Lakanude’ asekku, tania Daeng Lakanude” (sy orang Bugis Bollo, Andi Lakanude’ namaku, bukan Daeng Lakanude’
Dg Bollo : “Kuissengji Daeng, Andi Lakanude arengta Daeng”” (aku tahu Daeng, namamu Andi Lakanude, Daeng)
Andi Lakanude’ : “Magai nuasekka Daeng? Na iya’ taniakan Daeng, iya’ Andi,..” (kenapa kamu menyebutku Daeng? Pdhal saya bukan Daeng, saya Andi)
Lakanude’ agak kurang nyaman dengan panggilan istrinya karena dia adalah bangsawan Bugis bergelar Andi tapi istrinya selalu menyebutnya Daeng”
Karena tidak mau mau berdebat panjang dengan istrinya, diapun tak berpanjang-panjang lagi, langsung mencumbui istrinya. Karena belum pengalaman, ketika dia mencoba menembus keperawanan istrinya, dia salah menyodok ke lubang anus. Istrinya berteriak kesakitan, tapi Lakanude’ terus tetap meneruskan. Pikirannya menembus keperawanan memang sulit dan wanita cenderung kesakitan.
Daeng Bollo meronta namun Lakanude’ tetap meneruskan..!
Karena tak tahan sakit, Dg Bollo berteriak memperingatkan bahwa suaminya salah lobang:
Dg Bollo : “Ouchhh” Daeng..! Pajaku Daeng.. pajaku kodong..!!” (Aduh” Daeng! Pantatku Daeng”! itu pantatku..!)
Lakanude’ tetap tidak peduli, dengan sedikit emosi dia berkata, “Magai na elo’ dipajai, na purani rielli”” #@*^%$@< (kenapa harus dihentikan? kan sudah dibeli)
- doi’ panai (Makassar) = doi’ paenre (Bugis) = uang naik, uang yang diserahkan pihak laki-laki kepada pihak wanita untuk ongkos pesta pernikahan, dll.
- erang-erang = benda-benda pemberian yang dibawa oleh para gadis muda menyertai mahar ketika pihak lelaki mendatangi wanita untuk akad nikah. Erang-erang itu disimpan di bosara, biasanya berupa keperluan wanita seperti sendal, sarung, kue-kue, dsb
- anrong bunting (makassar) = indo botting (bugis) = juru rias pengantin yang juga biasanya menjadi juru bicara pengantin, karena pengantin (wanita) biasanya/seharusnya lebih banyak diam saja wlpun diajak bicara. Indo botting ini banyak yang dari kalangan banci.
- moro-moro = mengomel
- siajing (bugis) = bija (makassar) = sanak keluarga / kerabat
- tudang botting (bugis) = mempo bunting (makassar) = duduk pengantin
- ca’doleng-doleng = secara bahasa: bergelantungan = biduan porno di kampung-kampung, biasanya penyanyi yang ketika berjoget sambil membuka pakaiannya hingga terlihat buah dadanya bergelantungan.
- paja = dalam bahasa makassar berarti pantat, tapi dalam bahasa bugis berarti berhenti (ini sumber kesalahpahaman suami istri dalam cerita di atas)
credits: vhazollee (kaskus holic)