seperti anak panah
waktu melesat tak henti
sejarah beku berlumut
tertinggal jauh di belakang

rasanya baru kemarin
ketika mata saling menatap
di balik barisan buku-buku…
pertemuan kita yang pertama!

rasanya seperti mimpi
ketika kubelai lembut rambutmu
biarkan kau tertidur pulas
dalam pelukanku

bebayangmu masih ada
terpatri di setiap sel otakku
tak akan pernah sirna
hingga simpul saraf ini terdegenerasi

berkhayal tentangmu menjelang lelapku
merenungi jejak demi jejak yang terlewati
selalu terasa sejuknya di rongga dada
saat kau hembuskan cinta di ambang pintu

aku terpesona!
senantiasa terhipnotis kagum pada sosokmu
histeria dalam jiwa ini kuredam sendiri
tanpa pernah kau sadari adanya

aku hanya bisa menjaga rasa ini tetap membara
tak kubiarkan organisme yang lain merasukinya
aku hanya bisa melafalkan namamu di bait-bait doaku
berharap tuhan tak menulikan telinganya terhadapku

kasih…
selamanya aku hanya bisa mencintaimu
‘kan kujaga cinta ini untukmu
hingga jasadku terurai menjadi debu…

ijinkan aku tetap hidup dengan mimpi kita (ku)
karena kuhanya seorang laki-laki sederhana
rapuh, dengan sebaris cinta yang terlampau naif
(dan takkan cukup untukmu, kutahu)

sepanjang hidupku aku takkan mungkin lagi memilikimu…
maafkan aku yang tak mampu bahagiakanmu…

Big Stone, 06-04-2011
usai tahajjud dan istikharah, ketika air mata menitik di separuh bait terakhir lagu Iwan Fals – Entah (*)

* Sungguh mati betinaku // Aku tak mampu beri sayang yang cantik // Seperti kisah cinta di dalam komik…