Masih ingat si dukun cilik asal Jombang yang menghebohkan? Di facebook, seorang teman, Kamaruddin Azis, menulis notes tentang Muhammad Ponari.

Dia terlihat seperti anak lumpuh yang dibopong. Seseorang menggerakkan tangannya yang menggenggam batu ‘ajaib’ yang konon diduga memiliki khasiat mengobati. Lelaki yang menggendongnya, berjalan perlahan.

Demi mempercepat pelayanan, dukun cilik Muhammad Ponari menggantung di belakang punggung seorang pria dewasa memasukkan tangan kanannya ke dalam wadah berisi air yang disodorkan oleh para pasien yang datang dari berbagai penjuru. Seseorang menggerakkan tangan Ponari, tangan yang terlihat seperti tanpa tenaga.

Itulah gambaran teknik pengobatan versi Ponari. Puluhan ribu warga dari berbai pelosok datang, mengantri berjam-jam, siang-malam, berhar-hari bahkan bermalam karena belum sempat memperoleh celupan ampuh si dukun Ponari.

Bisa dibayangkan, seperti apa latar belakang para pasien itu. Ada yang karena sakit berharap bertemu langsung dengan sang dukun, ada yang lumpuh, sesak dada, batuk-batuk hingga mata buram karena katarak. Dari sekian pasien yang mengantri tersebut, mereka harus berjibaku dengan pengantri yang sehat fisiknya, pengantri yang mewakili dari keluarganya yang hanya berharap air sentuhan Ponari. Tak ayal, korban berjatuhan bahkan meninggal karena berdesak-desakan. Demi alasan keamanan praktek Ponari sempat ditutup oleh otoritas setempat.

Mengapa warga jadi tak rasional?

Hari ini, dari satu saluran televisi nasional, pihak Majelis Ulama Indonesia menyebut fenomena Ponari ini mesti diwaspadai untuk tidak menyebabkan kemusyrikan. Ini sangat beralasan karena warga yang tidak sempat memperoleh sentuhan Ponari mulai mengada-ada. Air comberanpun menjadi harapan untuk sehat dan mendapatkan berkah supaya sembuh. Warga mengais air dari selokan buangan arah rumah Ponari. Amankah ini? Manjurkah ini?

Tentu saja ini mengundang pro kontra. Banyak yang pro bahwa praktek Ponari ini adalah satu ‘mukjizat’ bagi para penderita. Para warga yang berharap sehat dengan cepat. Menurut informasi, sudah banyak pasien yang memperoleh sentuhan baru Ponari yang sembuh. Inilah yang memompa motivasi para warga untuk melakukan apa saja demi kesembuhan.

Yang kontra, ya seperti perwakilan MUI tersebut dan beberapa elemen masyarakat yang khawatir praktek Ponari ini akan mengusik masa depannya, sekolahnya dan kesehatannya sendiri. Tapi warga tetap datang, mereka menggantungkan harapannya setinggi langit demi kesembuhan itu.

Mohammad Ponari,yang masih berumur 9 tahun ini asal dusun Kedungsari, Desa Balongsari, Kecamatan Megaluh, Jombang Jawa Timur ini memang fenomenal. Disatu sisi (jika benar penuturan warga) telah memberikan tuahnya bagi warga yang sakit di satu sisi bagai menyihir logika manusia.

Batu sekepal tangan orang dewasa itu adalah sumbernya. Batu yang menurutnya diperoleh setelah terkena petir.

Ini bukan hal baru, beberapa praktek serupa sebenarnya sudah merebak jauh sebelum berita Ponari. Praktek perdukunan marak, sebelum praktek Ponari. Bahkan diiklankan dengan iming iming tertentu. Paranormal atau perdukunan dengan alat bantu merajalela. Lalu mengapa baru sekarang pemerintah atau otoritas pemerintah khawatir?

Kasus Ponari memang sangat mengkhawatirkan jika menggunakan akal sehat, tetapi bagi sebagian warga yang pendidikan dan keadaan ekonominya sangat rentan sungguh bukanlah hal yang perlu dibatasi. Keadaan ekonomi dan semakin beratnya memperoleh pengobatan praktis membuat banyak warga seakan-akan mencibir kebijakan pemerintah terhadap pengaturan dukun Ponari ini.

Obat yang semakin mahal, akses pengobatan yang semakin bertele-tele, pelayanan yang tidak optimal kerap menjadi alasan mengapa warga mengambil jalan pintas.

Kasus Ponari ini adalah antiklimaks bagi gembar gembor penangananan issu kesehatan dan pendidikan nasional. Issu kelemahan suprastruktur kesehatan dan fenomena sosial ekonomi rakyat Indonesia yang rentan terbelit masalah adalah pemicu semakin diminatinya praktek Ponari.

Lagian, selama ini sudah sangat banyak sekali praktek perdukunan ‘nyeleneh’ yang dibiarkan. Tanpa ada upaya penataan. Tengoklah iklan-iklan paranormal. Hanya saja, sungguh sangat disayangkan jika percaya yang berlebih pada praktek perdukunan seperti Ponari ini dapat membutakan warga pada pencipatnya, pada Yang Maha Esa, Yang Maha Penyayang.

Tapi warga yang ‘sakit’, rasionalitas nampaknya menjadi nomor kesekian setelah kesembuhan.

Tergelitik lagi, membaca tulisan beliau. Saya jadi “gatal” untuk ikut berkomentar.

Mirwan Bz Vauly at 6:18pm February 15

Benar DeNun,
Dalam kondisi yang konon semakin “membaik” ini masyarakat mudah hanyut atau bahkan menghanyutkan diri di sungai yang airnya mengalir ke muara berbuaya ganas. Pemandangan itu selalu tidak pernah jauh dari ruang ruang kita berdiskusi mengenai rasionalitas, keyakinan, pendidikan, dan seterusnya.

Ponari, Kospin, Sinetron, dan panggung politik hari ini rasanya tidak memberi banyak perbedaan my friend, namun disitulah titik yang menyesakkan rasionalitas kita. Penabuh drum ternama dalam kajian orkes sosial kita seperti ben anderson, Geertz, hingga ke yahya pojiale (hmm..) sering mengatakan bahwa pada kondisi morat marit begini masyarakat cenderung mudah menaruh harapan berlebihan pada seorang tokoh penyelamat seperti robin hood, kembalinya kahar muzakkar, kartosuwiryo, pengeran ini dan pangeran itu termasuk ponari sebagai sosok ratu adil.

yang terasa makin perih, masih ada juga yang mengatakan bahwa masyarakat di negeri baik baik saja. Ooh.. Tuhan…

Tom Antarnisti at 9:55pm February 15

ponari dicekal, katanya berpotensi syirik… tapi iklan ‘perdukunan’ via sms di tv semakin banyak
ponari dicekal, karena metode pengobatannya tidak ilmiah malahan menambah buruk kesehatan… tapi kualitas pelayanan kesehatan di desa2 ternyata tidak lebih baik
ponari dicekal, kesibukannya tidak baik untuk tumbuh-kembang seorang anak, terutama psikis, kata si psikolog tenar… tapi banyak artis sinetron, penyanyi, atau so-called entertainer yang bahkan lebih muda daripada ponari

jadi bagaimana?

mau memberantas penyakit agama?
mau meningkatkan kesehatan masyarakat?
mau melindungi hak-hak anak?

ayo, jangan cuma ponari!

Kamaruddin Azis at 10:03pm February 15

Itu dia…
Inilah fakta sosial budaya kita. Nampaknya, butuh mediasi yg pas utk bisa mendudukkan persoalan secara proporsional.

Muhammad Ruslailang Noertika at 10:24pm February 15

Ini seperti kopi campur susu bagi masyarakat marjinal. Cukup simpel dibuatnya, tp mendatangkan kepuasan karena punya peluang berobat yg mgk sdh dianggap barang mewah. Masyarakat bodoh dan tidak rasional ini, adalah cerminan ketakmampuan kita, dan pemerintah, untuk menanamkan rasionalitas diatas pengharapan.

Masyarakat tidak salah, kita mungkin yang sulit memilah makanan apa yg cocok utk kita suapkan ke mereka.
Ah, maaf banyak basa-basi. Intinya poniran adalah cermin wajah kita sesungguhnya? Buruk muka, maka cermin dibelah. Sayang, cermin yg sudah pecah itu ternyata masih laku di masyarakat kita. A
Astaga!

Tom Antarnisti at 5:42am February 16

kalau nda salah, gara2 antrian yang padat, ada 4 orang yang meninggal. saya jadi ingat konser musik super grup band ungu. korbannya lebih dari 4 orang, dan mungkin masih akan bertambah, karena konser maut semacam ini tidak dicekal sama sekali (sponsornya dulu dong… semuanya pabrik rokok milik orang-orang terkaya di indonesia).

apapun, ponari memberikan ‘kesembuhan’ melalui sugesti, satu hal yang hampir tidak pernah ditawarkan oleh dokter-dokter kita. yang ada, pasien datang ke klinik dengan h2c (harap-harap cemas), mudah2an resep obat yang harus ditebus tidak sampai menguras kantong. tapi, bagaimana bisa murah? resep dokter semuanya “pesanan” pabrik farmasi, bermerk, harga selangit. Boro-boro memberi sugesti kesembuhan, pasien justru tambah sakit memikirkan uangnya.

Mungkin begini:

  1. dokter mahal <> ponari murah
  2. sudah ke dokter nda sembuh2 juga <> ponari tokcer, meskipun mungkin cuma sugesti
  3. dokter, sudah mahal, nda sembuh pula <> hahahaha….
Tom Antarnisti at 5:47am February 16

oya, ada yang terlupakan… kaya’nya daripada ribut mengurus ponari si dukun cilik alias dukun-dukunan… mending tangkap tuh dukun cabul, atau dukun penipu yang suka main sms-smsan reg spasi blah blah blah… :)

Pon, maaf ya de`.. kamu lahirnya sabtu kliwon. kamu nda cocok kerja di air… jadi lain kali jangan pake` -batu celup-, mending batunya dipake` buat nguleg sambel terasi *rolling on floor laughing*

Batu Celup Cap Ponari (foto: arhamkendari)

Batu Celup Cap Ponari/foto: arhamkendari

Mustamin Al-Mandary at 9:33am February 16

Saya menganggap, ini bentuk keputusasaan masyarakat kita. Bisa jadi mereka malah sangat rasional. Maksudnya, mereka memilih sesuatu yang lebih pasti. Daripada ke dokter dgn biaya mahal dan belum tentu sembuh malah terancam malpraktek, mending ke Ponari, paling2 bayar semampunya. Daripada ke puskesmas, biar sakit apa obatnya sama, mending ke Ponari. Dan daripada tidak jelas, kita cari yang jelas2 saja: sembuh dan siap tidak sembuh.

Saya masih bersyukur, masyarakat kita masih punya harapan, kendati mungkin harapan itu sudah tidak rasional di mata orang lain. Tetapi masih adakah yang rasional di negri salah urus ini? Mungkin masih ada, salah satunya ya Ponari itu….


Hmm, bagaimana menurut anda?